Beranda | Artikel
Faidah Ushul Tsalatsah [bagian 4]
Jumat, 3 Maret 2017

Materi :

– Ilmu Yang Wajib Dipelajari

– Keutamaan Menimba Ilmu

– Ilmu dan Ketakwaan

Ilmu Yang Wajib Dipelajari

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “[Kewajiban] Yang Pertama; Ilmu…” Apa yang dimaksud dengan ilmu di sini? Mari kita simak keterangan berikut ini…

Yang dimaksud dengan ilmu di sini ialah ilmu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sumber dari ilmu itu adalah al-Qur’an al-‘Azhim yang tidak datang kepadanya kebatilan dari arah depan maupun dari arah belakang. Sebuah kitab yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Ilmu yang dapat memisahkan antara kebenaran dengan kebatilan. Ilmu untuk membedakan antara hal-hal yang dicintai Allah dengan hal-hal yang dibenci-Nya. Ilmu yang berkaitan dengan perkara-perkara gaib di masa lalu maupun masa depan. Ilmu yang menjelaskan tentang nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya (lihat al-Ushul fi Syarhi Tsalatsatil Ushul, hal. 20-21 karya Syaikh Abdullah al-Yahya hafizhahullah)

Dengan kata lain, ilmu yang wajib dipelajari di sini ialah ilmu syari’at. Karena inilah ilmu yang wajib untuk dipelajari. Ilmu syari’at yaitu ilmu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Adapun ilmu-ilmu dunia semacam kerajinan, ilmu hitung, matematika, teknik, dsb maka ini adalah ilmu-ilmu yang mubah. Boleh dipelajari dan bisa jadi menjadi wajib apabila umat butuh kepadanya. Yaitu wajib bagi mereka yang mampu untuk mempelajari dan menguasainya. Meskipun demikian hal itu bukanlah ilmu yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Para ulama adalah pewaris nabi-nabi.” (HR. Bukhari secara mu’allaq). Maka yang dimaksud adalah orang-orang yang memahami ilmu syari’at (lihat keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 19)

Hukum mempelajari ilmu berbeda-beda sesuai dengan objek/perkara yang hendak dipelajari. Ada yang hukumnya wajib semacam mengetahui hukum sholat dan rukun-rukun Islam yang lain. Ada juga yang sifatnya sunnah/mustahab seperti mengetahui perkara-perkara yang mustahab/dianjurkan. Di sisi lain, ada juga ilmu yang haram dipelajari semacam ilmu sihir. Hukum mempelajari perkara syari’at ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah. Yang fardhu ‘ain -wajib bagi setiap individu- misalnya belajar tentang rukun Islam yang lima. Adapun fardhu kifayah maksudnya sebuah kewajiban atas keseluruhan kaum muslimin; sehingga apabila sudah ada sebagian dari mereka yang melakukannya gugurlah dosa dari yang lain. Misalnya belajar ilmu fara’idh/waris, ilmu ushul -ushul fiqih, ushul tafsir, dsb- dan nahwu/kaidah bahasa arab (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 22 karya Syaikh Abdullah bin Sa’ad Aba Husain hafizhahullah)

Keutamaan Menimba Ilmu Agama

Diantara dalil al-Qur’an yang menunjukkan keutamaan ilmu agama ini adalah firman Allah (yang artinya), “Katakanlah; Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.” (az-Zumar : 9). Firman Allah (yang artinya), “Dan katakanlah -wahai, Muhammad-, ‘Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (Thaha : 114). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir : 28) (lihat Kutub wa Rasa’il, 5/9)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan/cara dalam rangka mencari ilmu -agama- maka Allah akan mudahkan untuknya dengan sebab itu jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berangkat di awal siang menuju masjid sementara tidaklah dia berniat kecuali untuk mempelajari suatu kebaikan atau mengajarkannya, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang menunaikan ibadah haji dengan sempurna hajinya.” (HR. al-Hakim dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Albani menyatakan hadits ini ‘hasan sahih’ dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham, akan tetapi sesungguhnya mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mendapatkan jatah/bagian yang sangat banyak.” (HR. Ahmad, dll. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang ‘alim/ahli ilmu akan dimintakan ampun oleh segala makhluk yang di langit dan di bumi, sampai-sampai oleh ikan yang berada di dalam air/laut.” (HR. Ahmad, dll. Disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak salih yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya.” (HR. Muslim)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi hafizhahullah mengatakan, “Sesungguhnya menimba ilmu adalah nikmat yang sangat agung. Dan sebuah anugerah dari Rabb kita subhanahu wa ta’ala. Karena menimba ilmu itu adalah salah satu bentuk ketaatan yang paling utama, dan salah satu ibadah yang paling mulia. Sampai-sampai para ulama mengatakan, “Sesungguhnya menimba ilmu adalah lebih utama daripada ibadah-ibadah sunnah.” Artinya adalah bahwa memfokuskan diri dalam rangka menimba ilmu itu lebih utama daripada memfokuskan diri untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah seperti sholat sunnah, puasa sunnah, dan lain sebagainya…” (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/5)

Sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93).

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan -untuk dikonsumsi- dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu maka ia dibutuhkan -untuk dipahami, pent- sebanyak hembusan nafas.” (lihat Miftah Daris Sa’adah, 1/248-249)

Ilmu dan Ketakwaan

Setiap hari di dalam sholat kita memohon kepada Allah agar diberikan hidayah menuju jalan yang lurus; yaitu jalan orang yang diberikan nikmat dimana mereka itu adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya maka dia termasuk golongan yang dimurkai. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu maka dia termasuk golongan orang yang sesat. Hal ini menunjukkan bahwasanya untuk bisa beramal dan beribadah dengan benar dibutuhkan ilmu, sehingga dengan cara itulah seorang insan akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus/shirothol mustaqim (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/227)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian. Akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Shalih al-‘Ushaimi hafizhahullah berkata, “Barangsiapa membersihkan hatinya di situlah ilmu akan bersemayam. Dan barangsiapa tidak mengangkat kotoran/najis (dosa) yang ada di dalam hatinya ilmu akan berpisah dan pergi darinya.” Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Haram bagi hati untuk dimasuki cahaya (ilmu) sementara di dalamnya ada sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Khulashah Ta’zhim al-‘Ilmi, hal. 9-10)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap kali seorang hamba semakin bertakwa dia akan semakin meninggi untuk menggapai hidayah yang lain. Dia senantiasa mengalami peningkatan hidayah selama dia mengalami peningkatan takwa. Dan setiap kali dia kehilangan suatu bagian ketakwaan luputlah darinya suatu bagian hidayah yang sebanding dengannya. Setiap kali dia bertakwa bertambahlah petunjuk yang dia miliki. Dan setiap kali mengikuti hidayah ketakwaannya juga semakin bertambah.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/102-103)

Kesimpulan dan Faidah :

– Ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu agama

– Ilmu agama bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah

– Hukum belajar ilmu agama ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah

– Fardhu ‘ain artinya wajib dipelajari setiap orang

– Fardhu kifayah artinya wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin

– Menimba ilmu agama lebih utama daripada ibadah-ibadah sunnah

– Ilmu adalah landasan untuk beramal ibadah

– Memahami ilmu agama adalah tanda kebaikan

– Menimba ilmu adalah jalan menuju surga

– Ilmu akan bertambah dan terjaga dengan ketakwaan

– Ilmu dapat diperoleh dengan hidayah dari Allah

Pertanyaan Evaluasi :

– Ilmu apa yang wajib dipelajari setiap orang?

– Ilmu apa yang termasuk fardhu kifayah?

– Sebutkan ilmu yang haram dipelajari!

– Apa hukum belajar ilmu-ilmu dunia?

– Sebutkan keutamaan belajar ilmu agama!

– Sejauh mana kebutuhan manusia kepada ilmu?

– Sebutkan doa yang setiap hari kita baca di dalam surat al-Fatihah!

– Siapakah yang dimaksud orang yang dimurkai?

– Siapakah yang dimaksud orang yang tersesat?

– Siapakah yang dimaksud orang yang diberi nikmat?


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/faidah-ushul-tsalatsah-bagian-4/